"Boleh saja
partai ribuan jumlahnya, tapi yang menang yang punya uang saja”. Demikianlah
kira-kira penggalan lagu Iwan fals yang berjudul “Politik Uang”.
Fenomena Politik
uang dewasa ini sudah mulai menjangkiti masyarakat pemilih kita. Apalagi hal
ini terkesan “dilegalkan” oleh para kontestan (peserta pemilu), meskipun
sebenarnya di dalam Undang-undang sudah terang dan tegas menyebutkan “Barang
siapa pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum menurut Undang-Undang ini
dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak
menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan
cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun.
Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian
atau janji berbuat sesuatu”. (Bunyi Pasal 73 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 1999).
Sistem Pemilu dan Potensi Politik Uang
Sesuai UU Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menggunakan system
proporsional terbuka ada kekurangan dan kelebihanya. Di satu sisi, kesamaan hak
antara calon menjadi seimbang dan pemenag tidak lagi didasarkan karena nomor
urut tapi didasarkan kepada peraih suara terbanyak. Namun di sisi
lain sistem ini sangat merugikan ketika para calon semata-mata bekerja keras
untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Sehingga potensi jual beli suara atau yang populer dengan istilah politik uang menjadi praktek yang “dilegalkan” di tengah-tengah masyarakat.
Saat ini sampai
dengan tanggal 5 April 2014 merupakan tahapan pelaksanaan kampanye yang bisa
dilakukan melalui pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan
kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga. Tahapan ini tentu tidak disia-siakan
begitu saja oleh para kontestan. Mereka bekerja keras, siang dan malam
memanfaatkan setiap momentum baik itu acara kebudayaan, kegiatan ibadah atau
ritual keagamaan, even olah raga, baik skala kecil maupun besar. Keterlibatan para kandidat pada momentum tersebut bukan tanpa alasan. Unjuk publik tersebut dilakukan untuk menunjukan kepada konstituen bahwa mereka layak
untuk dipilih mewakili masyarakat di parlemen.
Berbagai strategi lain digunakan para kandidat untuk meningkatkan popularitasnya. Pohon-pohon di sepanjang
jalan yang memungkinkan untuk dilihat oleh para pemakai jalan pun tidak lepas
dari perilaku narsisme politik para kandidat.
Namun kerja keras tersebut
tidak diimbangi dengan kerja cerdas. Mobilisasi suara dilakukan jor-joran dan melibatkan praktek politik uang. Praktek ini justru mencederai asas fairness dalam kompetisi pemilu dan tentunya melanggar aturan yang ada.
Politik uang masih menjadi pernak-pernik yang sangat tak elok untuk
dilihat dalam menjalankan pesta demokrasi lima tahunan di republik ini. Masyarakat
sudah seperti terhipnotis dengan janji-janji bahkan buah tangan yang dibawa
oleh calon pada saat bertandang dengan alasan silaturahmi dan kegiatan sosial lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari buruknya sistem rekrutmen calon anggota legislatif oleh partai dewasa ini terkesan tak ubahnya seperti bursa kerja. Partai-partai diduga melakukan praktek candidacy buying dengan memasang tarif. Hal ini bisa
menjadi kritik bersama bahwa partai-partai tidak siap, kaderisasi yang macet, dan gagal menjalankan pendidikan politik.
Undang-undang
Nomor 2 tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa Pendidikan Politik yang dimaksud
adalah memberikan pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia
dalam membangun etika dan budaya politik. Hal ini sangat bertolak belakang jika
dilihat dari gambaran fenomena empiris saat ini. Namun hal tersebut tidaklah semata-mata
kesalahan dari calon-calon tersebut namun peran partai yang seolah-olah
melegalkan tindakan tersebut karena faktanya partai sendiri tidak dapat berbuat
banyak untuk menghilangkan praktek tersebut, karena dalam hal ini sebenarnya
peran partai untuk memproteksi para calon yang sudah didaftarkanya menjadi
Daftar Calon Tetap (DCT) pada pesta Demokrasi 9 April 2014 nanti.
Katakan Tidak pada “Politik Uang”
Semangat “Anti
Korupsi” menjadi slogan yang diusung pada Pemilu 2014 ini, sepatutnya mendapat
dukungan dari kita semua. Karena semangat ini dapat menentukan masa depan
Republik ini, setidaknya untuk lima tahun kedepan. Syaratnya adalah dengan memilih calon
anggota legislatif yang benar-benar bersih dan amanah. Sehingga mimpi akan
pembangunan Republik ini ke depanya tidak hanya pepesan kosong belaka dan ada
hasil yang biasa dinikmati.
Bagi masyarakat
tetunya banyak cara untuk berperan serta dalam mendorong terwujudnya semangat
“Anti Korupsi” yang diusung dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 ini. Selain
melaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang seperti Bawaslu, masyarakat selaku
pemilih juga bisa secara langsung mencermati siapa saja calon-calon yang
melakukan praktek “Politik Uang” tersebut, dengan tidak memilihnya.
Jika
hal tersebut dibiarkan dan ditolerir, tidak menutup kemungkinan calon tersebut jika terpilih hanya akan berfikir untuk mencari cara mengembalikan modal yang telah
dikeluarkan dan menambah pundi-pundi kekayaan pribadi. Maka
pilihan yang rasional adalah melakukan korupsi dengan mengeruk uang rakyat habis-habisan.
Bagi partai politik, sudah saatnya membuat aturan yang tegas jika mengetahui bahwa ada calon yang
diusungnya terbukti melakukan politik uang dengan sanksi mencoretnya dari DCT. Namun hal tersebut nampaknya sangat sulit
karena kepentingan politik yang belum kuat. Namun kesempatan partai memperbaiki diri sangat terbuka dan berperan strategis untuk mencegah terjadinya praktek politik uang dengan memperkuat aturan internal partai, sebagai bentuk kontribusi konkret perlawanan atas politik uang, menuju semangat Pemilu yang mengusung asas Luber dan Jurdil (Langsung, Umum,
Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil).
Pemilu 2014 ini mengusung semangat “Anti Korupsi“. Namun, yang menjadi
pertanyaan saat ini adalah partai mana yang akan mengawali hal tersebut?
Apakah ada yang berani?! Jika tidak memulainya sekarang, lalu kapan lagi. Katakan
Tidak pada politik uang. Pilih partai yang transparan dan caleg yang tidak hanya bekerja keras namun juga
bekerja dengan cerdas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar