Jumat, 14 Maret 2014

KERJA KERAS MENYELAMATKAN PEMILU 9 APRIL 2014 DENGAN CARA CERDAS, ANTI KORUPSI bukan ANTRI KORUPSI

"Boleh saja partai ribuan jumlahnya, tapi yang menang yang punya uang saja”. Demikianlah kira-kira penggalan lagu Iwan fals yang berjudul “Politik Uang”.

Fenomena Politik uang dewasa ini sudah mulai menjangkiti masyarakat pemilih kita. Apalagi hal ini terkesan “dilegalkan” oleh para kontestan (peserta pemilu), meskipun sebenarnya di dalam Undang-undang sudah terang dan tegas menyebutkan “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum menurut Undang-Undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu”. (Bunyi Pasal 73 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 1999).


Sistem Pemilu dan Potensi Politik Uang
Sesuai UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menggunakan system proporsional terbuka ada kekurangan dan kelebihanya. Di satu sisi, kesamaan hak antara calon menjadi seimbang dan pemenag tidak lagi didasarkan karena nomor urut tapi didasarkan kepada peraih suara terbanyak. Namun di sisi lain sistem ini sangat merugikan ketika para calon semata-mata bekerja keras untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Sehingga potensi jual beli suara atau yang populer dengan istilah politik uang menjadi praktek yang “dilegalkan” di tengah-tengah masyarakat.
        Saat ini sampai dengan tanggal 5 April 2014 merupakan tahapan pelaksanaan kampanye yang bisa dilakukan melalui pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga. Tahapan ini tentu tidak disia-siakan begitu saja oleh para kontestan. Mereka bekerja keras, siang dan malam memanfaatkan setiap momentum baik itu acara kebudayaan, kegiatan ibadah atau ritual keagamaan, even olah raga, baik skala kecil maupun besar. Keterlibatan para kandidat pada momentum tersebut bukan tanpa alasan. Unjuk publik tersebut dilakukan untuk menunjukan kepada konstituen bahwa mereka layak untuk dipilih mewakili masyarakat di parlemen. 
     Berbagai strategi lain digunakan para kandidat untuk meningkatkan popularitasnya. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang memungkinkan untuk dilihat oleh para pemakai jalan pun tidak lepas dari perilaku narsisme politik para kandidat. 
        Namun kerja keras tersebut tidak diimbangi dengan kerja cerdas. Mobilisasi suara dilakukan jor-joran dan melibatkan praktek politik uang. Praktek ini justru mencederai asas fairness dalam kompetisi pemilu dan tentunya melanggar aturan yang ada. 
       Politik uang masih menjadi pernak-pernik yang sangat tak elok untuk dilihat dalam menjalankan pesta demokrasi lima tahunan di republik ini. Masyarakat sudah seperti terhipnotis dengan janji-janji bahkan buah tangan yang dibawa oleh calon pada saat bertandang dengan alasan silaturahmi dan kegiatan sosial lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari buruknya sistem rekrutmen calon anggota legislatif oleh partai dewasa ini terkesan tak ubahnya seperti bursa kerja. Partai-partai diduga melakukan praktek candidacy buying dengan memasang tarif. Hal ini bisa menjadi kritik bersama bahwa partai-partai tidak siap, kaderisasi yang macet, dan gagal menjalankan pendidikan politik.  
        Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa Pendidikan Politik yang dimaksud adalah memberikan pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik. Hal ini sangat bertolak belakang jika dilihat dari gambaran fenomena empiris saat ini. Namun hal tersebut tidaklah semata-mata kesalahan dari calon-calon tersebut namun peran partai yang seolah-olah melegalkan tindakan tersebut karena faktanya partai sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk menghilangkan praktek tersebut, karena dalam hal ini sebenarnya peran partai untuk memproteksi para calon yang sudah didaftarkanya menjadi Daftar Calon Tetap (DCT) pada pesta Demokrasi 9 April 2014 nanti.

Katakan Tidak pada “Politik Uang”
       Semangat “Anti Korupsi” menjadi slogan yang diusung pada Pemilu 2014 ini, sepatutnya mendapat dukungan dari kita semua. Karena semangat ini dapat menentukan masa depan Republik ini, setidaknya untuk lima tahun kedepan. Syaratnya adalah dengan memilih calon anggota legislatif yang benar-benar bersih dan amanah. Sehingga mimpi akan pembangunan Republik ini ke depanya tidak hanya pepesan kosong belaka dan ada hasil yang biasa dinikmati. 
       
Bagi masyarakat tetunya banyak cara untuk berperan serta dalam mendorong terwujudnya semangat “Anti Korupsi” yang diusung dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 ini. Selain melaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang seperti Bawaslu, masyarakat selaku pemilih juga bisa secara langsung mencermati siapa saja calon-calon yang melakukan praktek “Politik Uang” tersebut, dengan tidak memilihnya.
         Jika hal tersebut dibiarkan dan ditolerir, tidak menutup kemungkinan calon tersebut jika terpilih hanya akan berfikir untuk mencari cara mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dan menambah pundi-pundi kekayaan pribadi.  Maka pilihan yang rasional adalah melakukan korupsi dengan mengeruk uang rakyat habis-habisan.

        Bagi partai politik, sudah saatnya membuat aturan yang tegas jika mengetahui bahwa ada calon yang diusungnya terbukti melakukan politik uang dengan sanksi mencoretnya dari DCT. Namun hal tersebut nampaknya sangat sulit karena kepentingan politik yang belum kuat. Namun kesempatan partai memperbaiki diri sangat terbuka dan berperan strategis untuk mencegah terjadinya praktek politik uang dengan memperkuat aturan internal partai, sebagai bentuk kontribusi konkret perlawanan atas politik uang, menuju semangat Pemilu yang mengusung asas Luber dan Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil). 
       Pemilu 2014 ini mengusung semangat “Anti Korupsi“. Namun, yang menjadi pertanyaan saat ini adalah partai mana yang akan mengawali hal tersebut? Apakah ada yang berani?! Jika tidak memulainya sekarang, lalu kapan lagi. Katakan Tidak pada politik uang. Pilih partai yang transparan dan caleg yang tidak hanya bekerja keras namun juga bekerja dengan cerdas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar