Senin, 10 Maret 2014

MENDORONG PEMILU YANG BERINTEGRITAS

Pemilu dan Integritas Demokrasi
Pemilu  dalam bingkai demokrasi merupakan  mekanisme transisi dan sirkulasi elit kekuasaan. Oleh kerena itu, maka menjadi penting proses pemilu  yang dibangun harus dilandasi prisnip-prinsip dan nilai demokrasi. Pentingya membangun proses pemilu dengan mengedepankan nilai-nilai fairness dalam kontestasi pemilu menjadi menjadi prasyarat mutlak untuk melahirkan pemilu berintegritas. Hadirnya pemilu yang berintegritas setidaknya memberikan ekspektasi untuk lahirnya pemerintahan yang bersih.

Melihat sejarah pemilu Indonesia pasca rezim reformasi, setidaknya  KPU telah melaksankan 3 (tiga) kali pelaksanaan pemilu, pemilu tahun 1999, pemilu tahun 2004 dan terakhir pemilu tahun 2009. Dan  jika mengacu  pada sejarah pemilu, setidaknya Indonesia telah melaksanakan  setidaknya 10 (sepuluh) kali pelaksanaan pemilu. Berangkat dari dari proses pemilu yang telah dilakukan yang ada ada  tentunya ada  banyak catatan atas proses pemilu yang berlangsung.  Salah satu persoalan mendasar adalah menyangkut rendahnya integritas pemilu.

Problem rendahnya integritas pemilu setidaknya disebab oleh  beberapa  faktor yang menjadi pemicu, diantaranya, aspek peserta (kontestan) pemilu yang turut andil menurunkan derjat integritas dengan melakukan segara cara sebagai upaya pemenangan. Hal ini terlihat bagaimana proses kontestasi yang dibangun tidak di dasari oleh prinsip-prinsip pemilu yang fair (jujur, demokratis dan adil). Maraknya praktek politik uang sebagai upaya untuk membangun keterpilihan, serta digunakannya sumber-sumber dana haram sebagai dana kampanye untuk pemenangan, secara nyata telah menciderai aspek fairness  dalam kontestasi pemilu.

Jika menilik proses pemilu Indonesia pasca reformasi, pemilu tahun 2014 merupakan pemilu yang keempat. Idealnya proses pemilu terbangun baik secara kualitas maupun dari aspek integritas dalam pelaksanaannya. Namun melihat beberapa fakta,  pelaksanaan pemilu masih menyisakan banyak persoalan, diantaranya menyangkut persoalan adminstratif pemilu, misalnya carut-marutnya daftar pemilih tetap yang tidak terselesaikan secara tuntas. Pada sisi yang lain aspek integritas pemilu tercoreng dengan maraknya praktek politik transaksional dalam proses pemenanan pemilu. Praktek poltik uang dalam membangun keterpilihan, serta dan masuknya dana-dana yang dilarang sebagai modal politik, mencirikan rendahnya integritas pemilu.


Dalam pemilu para kandidat dan partai politik bersaing untuk mendapatkan simpati pemilih. Persaingan ini, idealnya kemudian menjadi penentu dan berpengaruh terhadap pilihan kebijakan pemerintah, karena kandidat dan partai akan menerapkan pilihan kebijakan yang sesuai dengan platform yang mereka bangun.

Korupsi politik adalah penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh pemimpin politik untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya untuk melanggengkan kekuasaan atau peningkatan kesejahteraan (Hodess, 2004: 11).  Dalam suasana persaingan tidak sehat, Politisi secara alamiah berusaha untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaan dan otoritasnya (Niskanen, 1973). Hal itu menyebabkan politisi menempuh segala cara termasuk membangun hubungan erat dengan sektor bisnis. Kekuasaan dan otoritas politik digunakan untuk memberikan peluang dan meningkatkan posisi bisnis, sementara keuntungan yang diperoleh dari bisnis tersebut dipergunakan untuk memperluas pengaruh dalam politik. Hubungan erat antara politik dan bisnis ini menghasilkan kelompok yang disebut politico-business[1].

Korupsi Pemilu
Transaksi politik dalam konteks memelihara hubungan patronase politik-bisnis ini biasanya terjadi pada pelaksanaan pemilu, atau sering disebut sebagai Korupsi Pemilu (electoral corruption). Hubungan dukung-mendukung di dalam pemilu ini juga berlanjut setelah pemilu, yaitu ketika kekuasaan yang didapatkan diimplemetasikan dalam bentuk kebijakan publik. Kekuatan-kekuatan elit yang ada di dalam partai politik dan kekuatan penekan dari luar atau interest group[2] yang menjadi patronnya juga mendapat bagian dari kebijakan yang dibuat (Robison dan Hadiz, 2004: 232). Oleh karenanya, memahami dan menyikapi terjadinya korupsi pemilu (electoral corruption) merupakan hal yang harus dilakukan, karena korupsi pemilu tidak hanya mempengaruhi kualitas Pemilu akan tetapi juga kebijakan politik di masa depan.

Pemantauan Pemilu

Elections are a celebration of fundamental human rights and, more specifically, civil and political rights, and election observation therefore contributes to the overall promotion and protection of thse rights[3]

Sebagai sebuah ekspresi dari perayaan pelaksanaan hak asasi, terutama hal sipil dan politik, maka pemilu harus dapat dijaga kredibilitasnya oleh masyarakat sipil. Masyarakat sipil harus mau mengorganisir diri untuk menjaga agar hak-hak dasarnya tetap dijamin oleh Negara yang terejawantah dalam sistem Pemilu, penyelenggaraan pemilu dan proses pelaksanaan prosedur pemilu tersebut. Karena sifat dasar dari Pemilu itu sendiri adalah sebagai ajang kompetisi politik, maka harus diupayakan agar Pemilih yang notabene adalah masyarakat sipil memiliki pilihan-pilihan rasional atas entitas politik yang ada, baik itu Partai Politik maupun kandidat.

Pemantauan pemilu harus menjaga agar kondisi atau lingkungan yang terbentuk akibat persaingan politik menjelang, ketika dan pada saat pemilu tetap menjamin adanya kebebasan berpendapat, kebebasan media, kebebasan berkelompok, penegakan hukum, bebas diskriminasi dan intimidasi dan kesamaan hak bagi semua warga Negara, termasuk ruang luas yang terbuka bagi munculnya entitas politik baru seperti kandidat alternative, partai politik baru dan jaminan ruang persaingan yang sama antar berbagai kekuatan politik baru yang terbentuk.

Pada titik keharusan di mana entitas politik baru dan lama atau yang miskin dan yang kaya harus sama dijaga oleh sistem pemilu, maka pemantauan Dana Kampanye menjadi relevan. Hal ini karena pemantauan dana kampanye memiliki substansi dasar untuk selalu ingin meletakan entitas politik memiliki ruang yang lebih leluasa, mandiri terutama secara keuangan dan ruang persaingan yang sama dan setara sesuai dengan sistem pemilu jurdil (free and fair election). Demikian juga di sisi pemilih. Relevansi pemantauan dana politik dan politik uang adalah untuk menjaga agar pilihan-pilihan politik didasarkan pada sebuah pilihan rasional bukan karena tekanan uang.

Pemantauan Korupsi Pemilu
Terkait dengan mulai maraknya indikasi terjadinya korupsi pemilu di Indonesia dan sebagai upaya membangun integritas pemilu 2014, maka Indonesia Corruption Watch  akan melaksanakan pemantauan korupsi Pemilu, yang terdiri dari 3 fokus utama, yaitu; Manipulasi Pendanaan Kampanye, Politik Uang dan Penyalahgunaan Fasilitas Publik/Fasilitas Jabatan. (Tim ICW)


[1] Yoshihara Kunio (1990) memaparkan dengan jelas dalam bukunya “ersatz capitalism”.  Fenomena ini terjadi di banyak negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Para kroni menikmati proteksi dan kemudahan dari pemerintah dan sebagai imbal balik memberikan upeti. Hubungan tersebut dideskripsikan sebagai bentuk kolaborasi patron-klien (politico-business) dalam sistem kapitalisme negara.
[2] Interest group atau kelompok kepentingan yang dimaksud disini adalah kelompok kepentingan yang motivasinya hanya berupaya untuk memperoleh keuntungan bagi kelompoknya saja (self-oriented interest group).
[3] Election Observation HandBook, Fifth Edition, OSCHE/ODIHR, 2007, page 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar